Rabu, 13 Mei 2020

Mukaddimah Fiqih Falakiyah

MUKADDIMAH FIQIH FALAKIYAH


Dalam buku ini ada beberapa istilah yang perlu kita ketahui agar tidak ragu dan rancu dalam memahami masalah ini. Sampai saat ini masih ada sebagian yang membenci ilmu Falak, bahkan mengharamkan mempelajari dan mengajar ilmu tersebut. 

Hal ini timbul karena mereka tidak mengetahui perbedaan antara Ilmu Falak, Ilmu Hisab dan Ilmu Nujum. Sebagaimana yang telah dinukilkan oleh Syaikh Muhammad bin Yusuf Al Khaiyat dalam kitabnya.

وَاعْلَمْ أَنَّ بَـعْضَ مَنْ لَا دِرَايَـةَ بِـهَذَا الْعِلْمِ قَدْ يَـظُـنُّـهُ هُوَ عِلْمُ الــتَّـنْـجِــيْمِ الْمُنْهَى عَنْهُ شَرْعًا فَيُحْـكِمُ بِتَحْــرِيْـمِـهِ وَهُوَ غَـلْـطٌ فَاحِشٌ نَـشَــأَ مِنْ عـَدَمِ التَّــمْيِيْـزِ بَـيْنَــهُمَا وَمِنَ اْلإِاشْــتِـرَاكِ الْمَــوْضُــوْعِ

Artinya: " Ketahuilah bahwa sungguh sebahagian orang tidak mengerti tentang (definisi) ilmu ini (falak), ia menyangka bahwa ilmu falak adalah (sama dengan) ilmu nujum yang dicegah mempelajarinya pada syara', maka ia menganggap haram (mempelajari)nya. Anggapan tersebut sangat salah, karena tidak mengetahui perbedaan diantara keduanya, sebab sama topik pembicaraannya (secara umum). [1]

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan tentang hukum mempelajarinya, perbedaan dan kegunaan ilmu tersebut serta hubungannya dengan masalah-masalah Fiqih.

A. Pengertian Fiqih Falakiyah

Secara lughawi, Fiqih merupakan kata masdar dari kata berikut فقه- يفقه - فقها, yang berarti pemahaman.[2]

Secara Terminologis yaitu :

الفقه علم بحكم شرعي عملى مكتسب من دليل تفصلى

Artinya : "Fiqh yaitu mengetahui hukum-hukum syara' yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan anggota badan) yang dikaji melalui dalil-dalil yang terperinci'. [3]

Jadi, ilmu fiqh menurut istilah syara' adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang bersifat praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Dengan kata lain, ilmu fiqh adalah kompilasi hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. [4]

Sedangkan Falak berasal dari kata Fi'il madhi yaitu فلك, secara maknawi berarti orbit, perjalanan atau peredaran. Para akademisi menamakannya dengan istilah astronomi.

Maka, Falakiyah dapat diartikan sesuatu yang berhubungan dengan matahari, bulan, bintang, planet-planet dan perjalanan atau orbitnya masing-masing.

Ilmu Falak (Astronomi) ialah suatu ilmu yang membicarakan tentang benda-benda langit dan apa saja yang beredar padanya. [5]

Ilmu Hisab ialah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan peredaran dan posisi benda-benda langit serta akibat dari keduanya yang berhubungan dengan syara', baik ibadah ataupun muamalah. Misalnya Puasa, Qiblat, Waktu Shalat, 'Iddah, jual-beli, sewa menyewa dan lain-lain. [6]

Maka Fiqih Falakiyah dapat diartikan sebagai suatu ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara' yang berhubungan dengan masalah matahari, bulan, bintang, bumi dan lainnya serta perjalanannya masing-masing.

Sedangkan Ilmu Nujum (Astrologi) ialah ilmu yang membicarakan tentang akibat-akibat yang terjadi dari pergeseran dan peredaran benda-benda langit yang berhubungan dengan yang bukan syara', misalnya nasib baik dan buruk bagi seseorang. Ilmu inilah yang diharamkan untuk kita mempelajarinya. [7] Sebenarnya masih ada enam [8] ilmu lagi yang termasuk dalam Ilmu Astronomi (Ilmu Falak) yang tidak kami sebutkan disini.

B. Topik Pembahasan

Jika kita merujuk pada definisi Ilmu Falak, maka ruang lingkup pembahasannya yang menyentuh kebutuhan umat Islam yaitu sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah. Secara garis besar pembahasan tersebut dapat digolongkan dalam empat bidang yaitu :[9]
1. Arah dan Bayang Qiblat.
2. Waktu Shalat.
3. Ijtima' Penentuan Awal Bulan
4. Gerhana

Untuk Pembahasan dan penentuan keempat-empatnya harus diiringi pula dengan perhitungan dan pembahasan peredaran bumi, matahari dan bulan, karena perhitungan dan pembahasan ini adalah sebagai jenjang untuk mengetahui keempat masalah tersebut.

C. Pencetus Ilmu Falak

Ilmu Falak merupakan salah satu cabang ilmu yang perkembangannya dari zaman ke zaman semakin meningkat dan keakurasian yang semakin mendekati kepada kebenaran lewat rumus-rumus dan penelitian yang dilakukan oleh para ahlinya dari masa ke masa.

Dasar ilmu ini adalah dari Nabi Idris Alaihi Salam. [10] sebagai mu'jizat yang diberikan kepadanya oleh Pencipta jagat raya ini untuk menandingi para penyihir pada waktu itu, dan beliaulah yang menjadi pencetus Ilmu Falakiyah (Astronomi) ini untuk umat manusia. Kemudian, pengembangan ilmu ini dilanjutkan oleh anaknya sendiri yaitu Ishtarib. [11]

Secara garis besar, ilmu tersebut dapat dibagi dalam dua periode :

1. Periode sebelum Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang para ahlinya disebut dengan 'Ulama Mutaqaddimin. Adapun ahlinya ketika itu seperti Nabi Idris Alaihi Salam. Kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Istharib, lalu Numa Pompilus yang hidupnya pada tahun berdirinya Kerajaan Roma, yaitu 753 sebelum Masehi, Aristoteles (384-322 SM) dan Claudius Ptolomeus (140 M) dll. [12]

2. Periode sesudah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Orang yang ahli pada masa ini disebut dengan 'Ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad bin Ibrahim Al-Fazari (w. 796 M), Abu Ja'far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-847 M), Nicholas Copernicus (1473-1543 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), di Indonesia sendiri ada Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Misri (mertua Habib Usman) pada tahun 1314 H/1896 datang ke Jakarta dan mengajar ilmu ini kepada ulama-ulama muda yang lain diantaranya menantunya sendiri yaitu Habib Usman bin Abdillah bin 'Aqil bin Yahya yang dikenal dengan julukan Mufti Betawi dll. [13]

D. Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Sampai saat ini masih ada sebagian orang yang membenci belajar dan mendalami Ilmu Falak, bahkan mereka mengharamkan belajar dan mempelajari ilmu tersebut, karena kurang mengetahui perbedaan antara Ilmu Falak, Ilmu Hisab dan Ilmu Nujum, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Yusuf dalam kitabnya.

وَاعْلَمْ أَنَّ بَـعْضَ مَنْ لَا دِرَايَـةَ بِـهَذَا الْعِلْمِ قَدْ يَـظُـنُّـهُ هُوَ عِلْمُ الــتَّـنْـجِــيْمِ الْمُنْهَى عَنْهُ شَرْعًا فَيُحْـكِمُ بِتَحْــرِيْـمِـهِ وَهُوَ غَـلْـطٌ فَاحِشٌ نَـشَــأَ مِنْ عـَدَمِ التَّــمْيِيْـزِ بَـيْنَــهُمَا وَمِنَ اْلإِاشْــتِـرَاكِ الْمَــوْضُــوْعِ

Artinya: " Ketahuilah bahwa sungguh sebahagian orang tidak mengerti tentang (definisi) ilmu ini (falak), ia menyangka bahwa ilmu falak adalah (sama dengan) ilmu nujum yang dicegah mempelajarinya pada syara', maka ia menganggap haram (mempelajari)nya. Anggapan tersebut sangat salah, karena tidak mengetahui perbedaan diantara keduanya, sebab sama topik pembicaraannya (secara umum). [14]

Ibnu Hajar Al-Haitami Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya yang bernama Al-Fatawa al-Haditsiyah :

العلوم المتعلقة بالنجوم منها ما هو واجب كالاستدلال بها على القبلة والاوقات واختلاف المطالع واتحادها ونحو ذلك ومنها ما هو جائز كالاستدلال بها علي منازل القمروعروض البلاد و نحوهما ومنها ما هو حرام كالاستدلال بها على وقوع الاشياء المغيبة

Artinya : Ilmu yang berhubungan dengan Nujum (Bintang) ada yang wajib mempelajarinya seperti dalil Qiblat, waktu (shalat), beda dan sama mathali' dan lain-lain dan ada pula yang Jaiz (boleh), seperti dalil untuk manazil bulan, lintang suatu tempat dan seumpamanya. Dan ada pula yang haram misalnya sesuatu yang menunjuki kepada terjadi sesuatu yang ghaib. [15]

Dari keterangan diatas Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat tentang hukum mempelajari Ilmu yang berhubungan dengan Nujum [16](Bintang) ada tiga macam yaitu :
1. Wajib
2. Jaiz (Boleh)
3. Haram.

Maksudnya, hukum mempelajari ilmu ini tergantung pada masalah yang dipelajarinya, apabila yang dipelajari berhubungan dengan ibadah kepada Allah seperti masalah qiblat, waktu shalat serta berbeda dan sama mathla' maka hukum mempelajarinya adalah satu kewajiban bagi umat Islam. Dan jika yang dipelajari itu tidak berhubungan dengan ibadah seperti perjalanan matahari, bintang, bulan dan planet-planet lainnya maka mempelajarinya boleh (jaiz). Andaikata yang dipelajarinya itu berhubungan dengan kepercayaan yang ghaib-ghaib misalnya nasib baik dan buruk pada seseorang maka haram mempelajarinya, sama seperti ilmu kahin dan sihir.

Lain pula dengan Syaikh Muhammad Khaiyat, beliau berpendapat dengan Fardhu Kifayah dan sebagian Ulama yang lain berpendapat Fardhu'ain. [17]

Pendapat tersebut sama dengan pendapat dua Ulama besar dibawah ini yaitu Syekh Ibrahim al-Bajury, beliau menegaskan :

ويجب تعلمها حيث لم يكن هناك عارف سفرا وحضرا

Artinya : Dan wajib mempelajari ilmu tentang qiblat apabila disuatu tempat tidak ada orang yang mengetahuinya baik dalam musafir maupun dikampung. [18]

Imam An-Nawawy mengomentari dalam kitab Minhaj dengan syarah Jalaluddin Al-Mahally Juzu' I.

وان قدر شخص على تعلمها (فالاصح وجوب التعلم) عليه (فيحرم التقليد) فان ضاق الوقت عن التعلم صلى كيف كان واعاد وجوبا

Artinya : Apabila seseorang sanggup mempelajari tentang qiblat, maka pendapat Ashah, orang tersebut wajib mempelajarinya, dan haram atasnya taqlid. Jika tidak ada waktu untuk belajar, niscaya shalat ia bagaimana mungkin serta wajib mengulangi lagi shalat tersebut. [19]

Dalam dua kitab tersebut pengarangnya menjelaskan tentang kewajiban belajar untuk mengetahui qiblat bagi orang yang akan melaksanakan shalat. Untuk mudah kita mengetahuinya maka harus belajar ilmu ini.

Dalam Kitab Hasyiah Bujairami Juzu' II dijelaskan :

وسئل شيخ الاسلام الشيخ محمد الشوبرى بما صورته تعهد رؤية هلال رمضان اول ليلة هل تسن او تجب واذا قلت بالسنية او الوجوب فهل يكون على الكفاية او الأعيان وهل مثله تعهد هلال شوال لأجل الفطر ام لا وهل يكون هلال شعبان لأجل الاحتياط لرمضان مثل هلال رمضان ام لا فأجاب ترائى هلال شهر رمضان من فروض الكفاية وكذا بقية الأهلة لما يترتب عليها من الأحكام الكثيرة-والله أعلم

Artinya : Syaikh Islam mengajukan pertanyaan pada Syaikh Muhammad Syaubary tentang masalah melihat hilal Ramadhan pada awal malamnya, apakah sunat ataupun wajib. Apabila Tuan Guru menjawab dengan sunat atau wajib, maka apakah wajib atau sunat kifayah atau 'ain. Dan adakah sama hukum melihat bulan Syawal untuk berhari raya dengan melihat bulan Ramadhan atau tidak, dan apakah melihat bulan Sya'ban untuk ihtiyath Ramadhan sama dengan melihat bulan Ramadhan atau tidak. Beliau menjawab, melihat hilal pada awal bulan Ramadhan sebagian dari Fardhu kifayah, seperti demikian pula hukumnya melihat hilal pada awal bulan-bulan yang lain, karena sangat banyak hukum yang berkaitan dengannya. [20]

Dari redaksi kitab ini dapat diketahui, bahwa melihat hilal pada awal Ramadhan bahkan pada tiap-tiap awal bulan yang lain adalah bagian dari fardhu kifayah. Untuk memudahkan melihat bulan sabit pada awal bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang lain, harus diketahui letak posisi hilal pada waktu itu, apakah di sebelah utara garis khatulistiwa ataupun sebelah selatan, dan apakah di sebelah kanan matahari atau di sebelah kiri. Sedangkan untuk mengetahui posisi hilal itu, harus melalui Ilmu Hisab dan Ilmu Falak.

Apabila tidak diketahui posisinya, maka untuk nampaknya pun akan sulit didapati, contohnya hilal ketika berada di sebelah utara garis equator (khatulistiwa), sedangkan yang melihat di sebelah selatannya, atau posisi bulan sabit ketika diamati disebelah selatan matahari sedangkan yang melihat disebelah utaranya, tentu ini tidak akan nampak.

Alhasil Ilmu ini adalah satu jalan untuk dapat mempermudah mengamati dan melihat bulan sabit serta mengetahui kapan dan dimana matahari ataupun fajar ketika masuk waktu shalat dan hukum-hukum syara' lainnya yang berhubungan dengan perjalanan matahari, bulan, bintang serta bumi.

Dari uraian dan pendapat Ulama di atas, kita dapat mengambil kesimpulan tentang hukum mempelajari ilmu ini;
1. Wajib (Fardhu) pada sebagian masalah.
2. Jaiz (boleh) pada sebagian.
3. Haram (tidak boleh) pada sebagian yang lain.

Dan tidak boleh kita katakan wajib (fardhu) secara muthlaq (umum) atau Haram (tidak boleh) secara muthlaq (semuanya). Maka sangat wajar, bahkan seharusnya bagi umat Islam agar mempergunakan waktu untuk mempelajari ilmu ini.

Bagi siapa saja yang sudah menguasainya, janganlah sekali-kali mempergunakan Ilmu Falak untuk berbisnis, mencari pangkat serta jabatan lainnya. Akan tetapi, belajarlah dan ajarlah kepada orang lain dengan ikhlas serta jangan mengharap imbalan apa pun, sebagaimana juga ilmu-ilmu yang lain. Dengan demikian umat Islam tidak ketinggalan serta akan maju dalam ilmu ini dan berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.

E. Dalil-Dalil Mempelajari Ilmu Falak

1. Al-Qur'an

Surat Yunus ayat 5

Artinya; Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. (Q.S. Yunus: 5).

Sesungguhnya Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, karena itulah yang mengakibatkan matahari bersinar pada siang hari menyinari bumi, menjadi pembangkit panas dan tenaga bagi alam yang hidup, binatang atau tumbuhan, dan disamping itu juga Allah Ta'ala menjadikan bulan bercahaya di malam hari.

Allah Ta'ala menjadikan bulan sedemikian itu terus berpindah dari manzilah satu ke manzilah yang lain supaya kita mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu bagi bulan dan hari untuk kepentingan ibadat dan muamalat kita.

Mengetahui perkiraan tahun berdasarkan perhitungan perjalanan bulan mudah dicapai oleh semua orang. Yang sulit dilakukan adalah mengetahui perkiraan tahun dan bulan berdasarkan perjalanan matahari. Hal ini tidak mungkin bisa diketahui tanpa mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan itu secara baik.

Inilah sebabnya, Al-Qur'an memilih tahun Qamariah (bulan) untuk menentukan pelaksanaan puasa, haji, dan iddah talak, karena perhitungan inilah yang mudah dilakukan. Tetapi selain itu, agama juga menganjurkan kita untuk mempelajari perhitungan Syamsiah (matahari). [21]

b. Surat Al-Baqarah ayat 189

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah: 189).

Hilal-hilal (bulan dan penanggalan) itu merupakan suatu tanda (fenomena) bagi manusia. Dengan hilal, manusia bisa menentukan waktu untuk segala urusan keduniaan. Misalnya, mengetahui waktu bercocok tanam, berniaga (berdagang) dan waktu-waktu yang perlu ditetapkan untuk bermuamalah.

Hilal-hilal itu juga menjadi pedoman bagi pelaksanaan berbagai ibadat yang ditentukan waktunya, berhari raya dan berhaji. Masalah waktu dalam berhaji benar-benar mendapat perhatian, baik mengenai pelaksanaannya ataupun penggantiannya. Jika hilal tetap saja tanpa berganti-ganti, tak dapatlah kita menetapkan waktu.

Menetapkan waktu dengan hilal itu mudah sekali, bisa dilakukan oleh orang yang mengetahui ilmu hisab ataupun tidak, oleh penduduk desa maupun kota. Sedangkan menetapkan waktu dengan bulan-bulan dalam tahun syamsiah (Masehi) hanya bisa dilakukan oleh ahli hisab. Hal ini terus berkembang seiring dengan majunya ilmu pengetahuan.

c. Surat Al- Hijr ayat 16

Artinya: Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan kami Telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya) (Q.S. Al-Hijr: 16).

Yang dimaksud dengan buruj di sini adalah bintang-bintang besar (manzilah-manzilah matahari, planet bulan dan lainnya yang beredar).

Allah Ta'ala menjadikan di langit yang luas ini beberapa buruj, yaitu beberapa bintang besar dan beberapa planet. Allah Ta'ala menciptakan ini semua sebagai suatu pemandangan yang indah bagi orang yang memandangnya untuk mengetahui keajaiban-keajaibannya.

2. Atsar Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu mengatakan:

تعلموا من امر النجوم ماتهتدون به في البر والبحر ثم أمسكوا

Artinya : Ketahuilah tentang masalah bintang apa yang dapat menunjuki kamu di darat dan di laut (sekadar tidak sesat) kemudian padailah. [22]

Semua ayat Al-Qur an dan atsar Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di atas, membolehkan mempelajari ilmu falak dan ilmu hisab, bahkan dianjurkan untuk mengetahuinya serta tidak melarangnya. Sebenarnya, masih banyak ayat Al-Quran dan hadits nabi yang membolehkan serta menganjurkan mempelajari ilmu ini.

Ada sebagian kitab yang mengatakan tidak boleh mempelajari ilmu tersebut, ini dimaksudkan kepada Ilmu Nujum, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya yang bernama Al-Fatawa al-Hadistiyah pada pembahasan sebelumnya.

Ahmad Syihabuddin bin Hajar Al-Haitamy mengatakan :

وحاصل مذهبنا فى ذلك أنه متى اعتقد أن لغير الله تأثيرا كفر فيستتاب

Artinya : kesimpulan menurut mazhab kita tentang itu adalah, kapan saja meng'itiqad (meyakini) bahwa yang selain Allah dapat memberi bekas, niscaya kafirlah ia, maka hendaklah disuruh taubat. [23]

Komentar Ahmad Syihabuddin tersebut sama maksudnya dengan apa yang telah dikatakan oleh Syaikh Mushtafa bin Abdullah Al-Qasthanthiny Al-Rumy Al-Hanafy dalam kitab Kasyfu Al-Dhunun, beliau mengutip ucapan Imam Syafi'i rahimahullah.

قال الشافعى رحمه الله تعالى اذا اعتقد المنجم ان المؤثر الحقيقى هو الله لكن عادته سبحانه وتعالى جارية على وقوع الاحوال بحركاتها وأوضاعها المعهودة ففى ذلك لابأس عندى

Artinya : dikatakan oleh Imam Syafi'i Rahimahullah, "Apabila Ahli Nujum meng'itiqadkan, sesungguhnya yang menjadikan sesuatu pada haqiqadnya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi pada kebiasannya, Allah menjadikan sesuatu dengan peredaran bintang serta keberadaan dan kedudukannya yang dimaklumkan, maka yang demikian itu tidak mengapa (tidak menjadi masalah) menurut pendapatku".

Dari redaksi ini, dapat diketahui bahwa Imam Syafi'i membolehkan mempelajari Ilmu Nujum dengan catatan, harus di'itiqadkan bahwa Allah sajalah yang menjadikan segala sesuatu. [24] Sedangkan makhluq tidak ada kekuatan dan kekuasaan yang haqiqi untuk menjadikan apa saja.

Pendapat ini sama juga dengan pendapat Abdullah Syarqawi yang telah disebutkan dalam kitabnya.

F. Fungsi dan Kegunaan Ilmu Falak

Mempelajari dan mengetahui Ilmu Falak dan Ilmu Hisab sangat banyak kegunaan dan faedahnya, diantaranya :
1. Dapat mengetahui arah Qiblat dengan dhan atau yaqin dan akurat,
2. Mengetahui awal waktu shalat (waktu fadhilah),
3. Mengetahui mulai masuk bulan dan tahun baru hijriyah,
4. Mulai berpuasa yang berhubungan dengan ru'yatul hilal,
5. Serta salah satu jalan untuk mempermudah melihat bulan sabit,
6. Mengetahui ikhtilaf dan itthad mathla', (beda dan sama mathla')
7. Mengetahui waktu mengerjakan 'ibadah haji, tahun zakat, iddah dan lain sebagainya. [25]

Semua yang tersebut di atas akan kami jelaskan pada bab-bab berikutnya, berdasarkan Ilmu Hisab dan pendapat-pendapat ulama Fiqih.

Disamping itu, Ilmu Falak juga dapat mempermudah mengerti dan mengetahui hukum-hukum syara' [26] dan istilah-istilah Falakiyah yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh dan kitab lainnya. Semua ini tidak akan tuntas jika seseorang tidak mengetahui Ilmu Hisab atau Falak.

Sehubungan dengan topik pembicaraan ilmu ini tentang matahari, bulan, bintang dan planet-planet lain serta pergeseran dan peredarannya masing-masing. Ilmu tersebut juga dapat memperteguh dan memperkuat keimanan seseorang yang mempelajari dan mengetahuinya serta menambah keyakinan tentang kekuasaan Allah dalam hati sanubari.

Dengan demikian, maka perlu diadakan diskusi, muzakarah dan mubahasah tentang hal ini, agar Ilmu Falak tidak langka lagi di Aceh khususnya, dan dapat mengetahui keperluan ilmu ini untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syara', bahkan sangat banyak masalahnya yang tidakakan tuntas jika tidak ada yang mengetahui Ilmu Falak, misalnya waktu shalat, qiblat, mulai puasa dan berhari raya yang berhubungan dengan ru'yatul hilal dan lain-lain.
_____________
Catatan Kaki:
[1] Syaikh Muhammad bin Yusuf Al-Khaiyat, Al-Nadiyah, (Mesir: Mushtafa Al-Baby Al-halaby, 1348 H / 1930 M) hal. 7.

[2] Muhammad bin Abi Bakar bin Abdul Qadir Al Razi, Mukhtaru Al Shihah, (Cirebon: Al Maktabah Al Mishriyah, 1950 M/1369 H), hal. 534

[3] Abi Yahya Zakaria Al Anshary, Labbu Al Wushul, (Mesir: Isa Al Baby Al Halaby, tt), hal. 5

[4] Syaikh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 1

[5] Tgk. Muhammad Isa Mulieng, Ikhtisharu Al-Falaky, (Labuhan Haji: Darussalam 1957 M/1377 H) hal. 1.

[6] Ibid hal.1.

 [7] Ibid hal.1.

 [8] Al-Qamus Al-Falaky, Kamus Istilah Ilmu Falak, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama 1978, hal. 26.

[9] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Tiori dan Praktik, (Yokyakarta: Buana Pustaka cet I 2004) hal. 4

[10] Haji Abbas Aceh, Siraju Al-Zhulam dan Taju Al-Muluk, (Surabaya, Sulaiman Mar'iy, tt) hal. 7
[11] Ibid.. hal.7

[12] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Tiori dan Praktik, (Yokyakarta: Buana Pustaka cet I 2004) hal. 24

[13] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Tiori dan Praktik, (Yokyakarta: Buana Pustaka cet I 2004) hal. 24

[14] Syaikh Muhammad bin Yusuf Al-Khaiyat, Al-Nadiyah, (Mesir: Mushtafa Al-Baby Al-halaby, 1348 H / 1930 M) hal. 7.

[15] Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Haditsiyah, (Mesir: Mushtafa Al-Baby Al-Halaby cet. I 1937 M/1357 H) hal. 40

[16] Beliau mengistilahkan ilmu falak dengan Nujum

[17] Tgk. Muhammad Isa Mulieng, Ikhtisharu Al-Falaky, (Labuhan Haji: Darussalam 1957 M/1377 H) hal. 1

[18] Syaikh Ibrahim Al-Bajury, Hasyiah Al-Bajury, I, (Bandung: Syirkatu Al-Ma'arif, tt) hal. 142

[19] Al-Nawawy, Minhaj bi Syarhi Jalaluddin Al-Mahally, I, ( Beirut: Daru Al-Fikri, tt) hal. 257

[20] Sulaiman bin Umar bin Muhammad, Hasyiah Bujairimy 'Ala Syarhi Manhaju Al-Thulab, II, ( Beirut: Daru Al-Shadir, tt) hal. 67

[21] Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nur, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), Hal. 335

[22] Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly, Ihya 'Ulumi Al-Din, I, (Al-Qahirah: Al-Istiqamah, tt) hal. 29

[23] Ibni Hajar Al-Haitamy, Al-Fatawa Al-Haditsiyah, (Mesir: Mushtafa Al-Baby Al-Halaby, 1937 M/1357 H) hal. 242

[24] Al-'Alamah Al-Hudhudy bi Syarhi Al-Syarqawy, (Bandung: Syirkatu Al-Ma'arif, tt) hal. 65-66

[25] Tgk. Muhammad Isa Mulieng, Ikhtisharu Al-Falaky, (Labuhan Haji: Darussalam 1957 M/1377 H) hal. 1

[26] Ibid hal 1

Wallahu A'lam

Dikutip dari Buku Fiqih Falakiyah Karya Waled Mustafa Isa

Edited by Murdani bin Abdul Wahab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar